Custom Search

Kamis, 21 Agustus 2008

Kenapa Ayah Pergi

Ia pergi meninggalkan diri Ku dan kedua anak Ku, walaupun hanya untuk beberapa tahun, kehangatan dalam keluarga Ku seakan telah berkurang, suhunya lambat laun semakin menurun bahkan dingin telah biasa kurasa dalam tiap-tiap hari Ku. Anak-anak ku selalu bertanya, kenapa Ayah pergi meninggalkan Kita? Selalu pertanyaan itu yang terucap oleh meraka, disaat malam mengembalikan ingatan mereka tentang ayahnya. Saat sore tiba, anak-anak ku menanti kedatangan ayahnya sehabis kerja seharian sebagai buruh pabrik di negeri ini, di depan pintu rumah dengan wajah berseri bersama permen ditangan. Ketika dongeng si kancil mengajak mereka menutup mata takala ia masih ada memberikan kehangatan pada keluarga ini. Aku mencoba tuk bersabar atas pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh anak-anak ku, meskipun aku merasakan sebagaimana perasaan anak-anakku yang kehilangan akan kasih sayang seorang ayah walaupun hanya untuk beberapa waktu, tetapi yang namanya hilang tetap saja hilang dan kemana anak-anak ku hendak mendapatkan akan kasih sayang seorang ayah saat ia pergi dan apakah mungkin kasih sayang itu dapat dilipatgandakan dikemudian hari saat ia kembali. Aku rasa itu tak mungkin dan tak akan terjadi, biarkanlah pertanyaan anak-anak ku terbang bersama awan melintasi lautan dan samudera agar Ayahnya mengingat keadaan kami sekeluarga yang ditinggalkan olehnya yang pergi mengais batangan-batangan Ringgit dinegeri seberang tuk cepat kembali dan berkumpul lagi.
Telah tiga tahun ia berlalu dan ku rasa Pak Pos telah tujuh bulan tak kunjung tiba memberikan kabar berita tentang dirinya, aku bertanya pada Bapak yang bermukim di seberang kali Jelabat, Beliau tak tahu kabar anaknya itu, dengan wajah sedikit mengkerut dan telah kriput, selanjutnya Bapak menceritakan kalau ia mendengar berita di radio saat sehabis sholat subuh, bahwasanya Tenaga Kerja Indonesia yang bekerja di Malaysia yang disinyalir illegal dideportasi besar-besaran oleh pemerintah Malaysia. Aku bingung dan terdiam sesaat dalam hati berharap mudah-mudahan Kau baik-baik saja disana. Sementara berita mengenai deportasi besar-besaran yang dilakukan oleh Pemerintah Malaysia semakin menyesakkan dada, Ku dengar mereka yang bekerja disana menjadi tenaga kerja illegal bersembunyi dari buruan para polisi-polisi Malaysia, mereka bersembunyi di hutan-hutan dan perkebunan-perkebunan. Entah bagaimana dengan nasib dirinya, apakah Ia juga ikut bersembunyi dihutan-hutan bersama teman-temannya, atau Ia telah tertangkap oleh polisi-polisi Malaysia terebut. Sore itu, sehabis memandikan kedua anak ku “Tika dan Praja” yang selalu berharap akan datangnya kembali ayah mereka ke rumah ini, meraka yang masing-masing berusia 8 dan 7 tahun, Tika duduk dibangku Sekolah Dasar kelas 2 dan Praja duduk dibangku kelas 1. Beberapa saat berlalu dan aku masih menyampoi rambut Tika dan Praja telah memakai handuk kecilnya, Terdengar suara pintu diketuk oleh seseorang bersama lantunan salam. Ku jawab salamnya dan Ku ikut sertakan ucapan “sabar tunggu dulu”. Setelah anak-anak ku rapi dengan pakaian dan bedak diwajahnya, lekas Ku langkahkan kaki menuju pintu depan. Ku buka pintu tersebut dan terhenyak diriku melihat seorang laki-laki yang tak lain adalah mas Parjo, teman suami Ku, dimana mereka berangkat bersama-sama ke Negeri Jiran pada bulan Desember tiga tahun silam. Serentak Ku bertanya pada dirinya tentang keadaan suamiku tanpa terlebih dahulu mempersilahkan dirinya masuk ataupun duduk. Suami ku sekarang dimana Mas? Dengan pelan sekali suara Ku merambat bersama gelombang yang berada di sela-sela jarak tempat diriku berdiri dan mas Parjo yang berada dihadapan Ku kira-kira satu atau dua langkah kaki. Ku sangdingkan jari telunjuk ini ketengah-tengah bibir dan kuharap mas Parjo mengerti tanda yang sedang ku perlihatkan dihadapannya itu. Kau seperti dirundung kecemasan Tik, tanggap mas Parjo. Ia mas gimana Atik tak cemas kalau Atik tak tahu kabar mas Tirta, apalagi ditambah dengan pertanyaan anak-anak yang ingin tahu kenapa ayahnya pergi. Ku terdiam sejenak dalam kerisauan ini padahal kerisauan ini sebentar lagi mungkin akan sirna terobati oleh kehadiran mas Parjo yang membawa kabar dari suamiku. Kemudian Ku lihat mas Parjo sedikit kesal dalam kondisinya yang tegak berdiri dihadapan ku. Serta merta Ku persilahkan mas Parjo tuk duduk dibangku yang berada diteras rumah. Ku tinggalkan mas parjo tuk sesaat guna menyuguhkan segelas kopi manis dan beberapa potong mantang goreng. Setelah segalanya tersajikan di meja tempat mas Parjo duduk. Akupun ikut duduk disamping mas Parjo yang dibatasi oleh meja tempat kopi manis dan beberapa mantang goreng berada Ku kembali bertanya tentang nasib Suami ku disana.. Di negeri Jiran yang menjanjikan berjuta harapan bagi orang-orang seperti Kami, orang-orang yang tak terpandang dinegeri sendiri. Orang-orang negeri ini hanya dapat menjadi buruh sementara Investor-Investor Asing menjadi majikan di negeri ini dan parahnya lagi pemerintah negeri ini duduk dalam damainya di gedung-gedung dimana keringat-keringat bangsa ini terkuras dan mengalir hingga menjadi lautan kekecewaan orang-orang seperti kami. Mas Parjo pun mulai bercerita tetang nasib mas Tirta disana, ia memulai dengan raut wajah yang seakan-akan menenangkan lawan bicaranya, dengan suara yang berusaha membuat hati ku damai dan bahkan seakan tidak terjadi masalah. Gini Tik, mamas mu saat ini belum dapat pulang, karena kontraknya belum berakhir dan kontraknya itu berakhir Enam bulan lagi dan gaji Tiga bulan kemarin belum diterimanya, jadi Ia menunggu disana untuk menerima uang gajiannya itu dan ditambah lagi dengan janji pemilik pabrik tempat Ia bekerja, yang menjanjikan kepadanya tempat tuk bersembunyi dari kejaran para polisi-polisi Malaysia tersebut, jadi kemungkinan besar nasibnya tidak seperti teman-temannya yang lain. Kamu patut bersyukur dengan nasib mamas Mu walaupun gajinya yang tiga bulan itu belum dibayar tapi pemilik pabrik tersebut memberikan tempat persembunyian bagi pekerjanya dari kejaran polisi-polisi Malaysia. Ku terbuai dengan alunan suara yang terdengar seakan melapangkan dada Ku yang semula begitu penuh sesak. Akan tetapi terlihat mimik wajah mas Parjo dalam memberikan pengertian kepada Ku seakan menyisakan keraguan dan kesedihan yang terpancar dan itu mungkin tak disadari olehnya. Tapi Ku biarkan kesangsian Ku tersebut terendam oleh permainan kata-kata mas Parjo yang sedang Ku coba tuk ikuti. Lha, mas Parjo sendiri kenapa balik ke Negeri ini, apakah karena kontraknya telah berakhir atau karena di deportasi oleh negeri Malaysia? Waduh Tik, kalau Saya mendingan pulang dari pada Saya terjaring oleh Polisi Malaysia itu, lagian Saya juga tidak ada tempat tuk bersembunyi, tidak seperti mamas Mu yang dijamin oleh pemilik pabrik tempat Dia bekerja. Jadi dari pada Saya ikut bersembunyi bersama teman-teman di hutan-hutan dan perkebunan-perkebunan lebih baik Saya pulang ke Negeri ini kembali walaupun gaji dua bulan yang lalu belum Saya terima. Sementara Kedutaan Negeri ini bertindak seperti apa Mas, tanya Ku. Negeri ini tak dapat berbuat apa-apa, sebab Pemerintah Malaysia hanya menjaring pekerja-pekerja yang ilegal sehingga kalau Pemerintah Negeri ini melawan atau berusaha untuk melindungi lebih jauh, para pekerja ilegal tersebut mungkin akan berdampak pada pemutusan hubungan kerja antar kedua negeri, jadi tindakan yang diambil oleh Kedutaan Negeri ini hanya bersifat melobi-lobi, bagaimana Rakyat Negeri ini tidak mendapat sanksi yang berat, paling itu saja. Oh iya, Saya kelupaan. Sembari menampakan sebuah kotak yang dibungkus oleh kertas koran dari tas yang ada dipangkuan mas Parjo. ini ada titipan dari mamas Mu dan didalamnya ada se utas surat. Nah kalau isi surat itu Saya tidak tahu dan bahkan tidak ingin tahu. Ku raih dengan penuh tanya apakah benar apa yang disampaikan oleh mas Parjo tentang kabar Suamiku. Sebab tak seperti biasa ia memberikan kabar yang bersifat pribadi melalui teman-temannya, biasanya ia memberikan kabar tersebut lewat pos. Dalam hening senja yang sebentar lagi tenggelam, Tak Kuduga kedua anak-anakku telah hadir mendekati Ku, Meraka pun tak lupa dengan pertanyaan yang selalu Mereka tanyakan kepada Ku “ibunya”. Wah ada paman Parjo, ka..ika ada paman Parjo ka, Praja memanggil embaknya sembari melihat kedalam rumah guna menyakinkan embaknya tersebut. Sepintas kilat Tika berlari menuju teras tempat dimana mereka semua berkumpul. Meraka berdua melihat-lihat disekitar teras rumah seakan-akan ada yang hilang atau yang tak biasa. Mas Parjo yang melihat tingkah laku kedua anak Ku yang cilingak-cilinguk tersebut langsung bertanya, Tika dan Praja cari siapa, kok matanya melirik kemana-mana. Ayah mana Paman, tanya kedua anak Ku tersebut. Oh Tika dan Praja melirik kemana-mana tadi itu untuk mencari Ayah, Ayah kalian belum bisa balik kemari, bukannya Tika dan Praja ingin dibelikan sepeda buat berangkat kesekolah, iyakan, Tika dan Praja ingin dibelikan sepeda kan, tegas mas Parjo. Jadi ayah kalian masih berada disana untuk membelikan sepeda buat kalian anak-anaknya. Kok tidak dibelikan disini saja Paman, kilah Tika. Kan disinikan banyak juga sepeda yang dijual, kalau dibelikan di sini berarti Ayah balik kemari dan Kami pun sangat senang. Oh iya, paman Parjo sudah pernah bilang seperti itu pada Ayah kalian, kenapa tidak dibelikan disini saja, tapi Ayah kalian bilang kalau sepeda disana itu lebih bagus dan menarik. Oh jadi Ayah mau membelikan kami sepeda yang bagus dan menarik disana, tanggas Praja. Iya jadi gitu Praja, lanjut Paman. Tapi Paman kalau seperti itu mendingan Kami dibelikan sepeda disini saja Paman dari pada Kami dibelikan sepeda yang bagus dan menarik dan kalau seperti itu kan Ayah tidak usah pergi lagi ke Malaysia, ungkap Tika. Iya nanti paman sampaikan pesannya kalau Paman ke sana lagi, tutup Paman dengan lekas-lekas sembari meringkasi barang bawaannya dan tak sabar tuk pamitan meninggalkan keluarga Ku. Sementara waktu jam terus bergerak dan Kulihat malam telah tiba, Mahgrib pun datang mengetuk pintu rumah melalui suara azan yang dikumandangkan dari tiap-tiap langgar yang ada didesa Ku, dijalan-jalan terdengar langkah-langkah kaki mereka beduyun-duyun menyamperi dimana Asma Tuhan disuarakan. Sementara aku menutup pintu dan bergegas mengajak kedua anak Ku tuk masuk ke dalam rumah dan tak lupa Ku bawa bingkisan yang terbungkus kertas koran tersebut. Tak sabar perasaan ini tuk mengerti apa yang dipesankan oleh Suamiku melalui suratnya yang dititipkan lewat teman dekatnya. Ku buka kertas koran yang menyelimuti bingkisan surat itu, Ku sobek satu persatu dan terlihat tak berbentuk lagi tulisan-tulisan yang di beritakan oleh koran tersebut. Nampak sedikit bagian dari surat tersebut dan Aku pun langsung mengambilnya sementara kedua anak-anak Ku memperhatikan apa yang Ku perbuat dengan sedikit tanda tanya di mata mereka mengapa Ibu bersedih. Kuraih surat itu dan Ku baca satu persatu kata-kata yang tertulis dalam kertas tersebut dan tak akan kulewati satu huruf pun agar semuanya jelas namun Ku coba ulangi kembali, Ku baca kembali isi surat itu seakan tak percaya apa yang ditulis mas Tirta dalam surat ini, sementara mimik wajahku semakin menyendu dan mata Ku semakin sayu terasa jelas kalau kedua mata Ku semakin memberat seakan awan hitam yang tak tahan lagi tuk menurunkan hujan. Ia beristri lagi dengan seorang janda dari pemilik salah satu pabrik tekstil ternama di Malaysia dan itu telah berlangsung selama satu tahun yang lalu. Dikarenakan oleh tuntutan kehidupan yang kami alami, Ia tak tahan dengan begitu menghujamnya segala kebutuhan akan hidup dizaman sekarang ini, dan ini dilakukannya semata-mata untuk membahagiakan Aku dan kedua anak-anak Ku, Tika dan Praja. Ternyata benar dugaan Ku bahwasanya apa yang diceritakan oleh mas Parjo itu hanya sebagai penenang diriku disaat Aku mulai membaca surat ini. Tapi apa yang diusahakan oleh mas Parjo itu tak berhasil dan Aku pun semakin mengikuti alur perasaan ku ketika Aku membaca surat itu. Tak sadar diriku, ternyata anak-anak Ku telah berulang kali bertanya padaku, kok ibu bersedih dan menangis? Ungkap mereka. Namun mereka justru semakin membuat diriku terendam dalam perasaan Ku. Aku pun tak ada keinginan untuk menjawab pertannya yang dilontarkan oleh anak-anak Ku. Duduk Ku, bersama kedua anak-anak Ku sambil merangkul mereka dan tak terasa pipi Ku talah basah oleh air mata dan isak tangis pun berkumandang dari anak-anak Ku seakan-akan ia ingin menyaingi suara azan, sesekali Tika bertanya kenapa Ayah pergi dengan suaranya yang mulai sedikit sendu dan terpotong oleh isak tangisnya. Praja yang berada di sisi kanan dalam pelukkan Ku menagis hingga air matanya membasahi disisi kanan payudara Ku. Kini apa yang menjadi ketakutanku selama ini ternyata benar-benar tiba dan hadir dalam hidupku dan juga kehidupan anak-anak Ku. Seakan apa yang telah terjadi sebelum surat ini tiba merupakan keadaan dan kondisi Ku yang nyata dan akan seperti itu selalu kehidupan yang kujalani bersama kedua anak-anak, walaupun mas Tirta setiap bulan selalu mengirimi uang buat kebutuhan sehari-hari aku dan kedua anak-anak Ku.
By. Wong Alit

Artikel Terkait

6 komentar:

namaku wendy mengatakan...

knapa yah? kayanya karena aku bandel deh eh tapi tadi katanya pamit cm mo beli permen sebentar koq hehehe;)

ipam nugroho mengatakan...

kepergian tidak harus ditangisi..tapi diikhlaskan untuk dapat bertemu lagi

uNieQ mengatakan...

kata ayah, ayah pergi untuk mewujudkan semua mimpi2 kami.. semogaaaa

Anonim mengatakan...

mungkin cari uang...

CAsal71105 mengatakan...

Kepergian dalam rangka Ibadah...harus diiringi do'a, agar selalu sukses dan bertambah iman dalam relung hatinya.... yuk, kita ajari anak-anak kita berdo'a....

Kristina Dian Safitry mengatakan...

sayangnya cerpen. andaikan kisah nyata gw berani minta izin ngambil karya tulisnya. karena sesuai dgn sekmen media kami. trim,just info.he..he..

Sponsor

Daftar di PayPal, lalu mulai terima pembayaran menggunakan kartu kredit secara instan.

IKLAN BLOGGER