Custom Search

Senin, 18 Agustus 2008

Malam Bersama Penindasan

Malam itu, bintang tak malu-malu menampakkan sinarnya dan angin tersipu malu ketika diri ku keluar dari pintu rumah ini. Seketika langkah kaki ini seakan mengerti kemana diriku ini hendak pergi, kutinggalkan semua yang selalu mengintaiku saat ku berada di rumah itu, berharap ia tak mengikuti ku. Dengan langkah ketakutan layaknya ombak laut yang bergulung-gulung siap menenggelamkan diriku dalam ketinggiannya yang tak terbayangkan oleh ku. Sejenak ku terhenti melangkah, kulihat warung embak Ijah telah ramai dipenuhi oleh pemuda-pemuda kampung yang datang hanya untuk berkumpul dan berbincang-bincang mengenai permasalahan-permaslahan yang mereka rasakan sambil menikmati makanan yang dijajakan beserta kopi dan teh.
Kulihat ada Egi diantara pemuda-pemuda tersebut yang sedang meminum kopi dan bebincang-bincang dengan Sular. Penasaran, langsung saja Ku samperi mereka untuk ikut dalam lantunan perbincangan mereka. Baru beberapa lama Ku ikut dalam perbincangan mereka mengenai akan digusurnya pemukiman penduduk di desa Telagadadi sebab pemukiman tersebut merupakan lahan milik negara dan negara memberikan ijin kepada PT Puing dalam hal pembuatan gedung pabrik. Sehingga sekarang Masyarakat telagadadi merasa resah dengan akan diadakanya penggusuran tersebut. Dalam hatiku pun mengatakan bagaimana dengan desa Kami apakah nantinya juga akan mengalami apa yang sekarang sedang dialami oleh masyarakat yang bermukim didesa Telagadadi. Munculah sesosok pemuda yang berteriak dengan lantang didepan Kantor Kecamatan yang berada tidak jauh dari warung embak Ijah, sementara keadaan didalam kantor ramai oleh pejabat desa yang sedang membahas masalah penggusuran desa telagadadi. Tanpa rasa takut pemuda tersebut meneriakkan semua apa yang dia resahkan, pemuda tersebut tak lain ialah Tri putro “teman SMA ku dulu yang sempat mau dikeluarkan oleh fihak sekolah karena membeberkan kasus pelecehan kepala sekolah terhadap siswa-siswinya”. Teriakannya dimalam itu seakan berbentuk syair-syair kekhawatiran, dengan berbekal sebuah mikropon ia mulai teriak bersama kekhawatirannya itu. “Kau senang berada di sini bersama orang-orang yang mendukung mu, apalagi setelah tanah air ini diberi suatu kemerdekaan yang tak terlepas dari para pendahulu-pendahulu mu yang mau dan ingin memperjuangkan kemerdekaan tersebut. Kini mereka “pendahulu-pendahulu mu” menjadi pahlawan perjuangan, namun itu hanya dalam ingatan mu, sebab kau mengulangi kembali suasana dan keadaan seperti dulu, dengan memberi beban pada orang-orang kecil yang untuk makan saja mereka harus memikirkan anak-anaknya ataupun saudara-saudaranya yang lain apakah mereka dapat makan hari ini, apakah rentenir-rentenir datang menagih atau dapatkah anak-anaknya melanjutkan jenjang pendidikannya. Belum lagi betapa sulitnya mereka memperjuangkan hak-haknya, dimana tanahnya dipergunakan untuk pembanguanan pabrik-pabrik yang begitu angkuhnya, sebabs dengan ganti rugi yang tidak seimbang, belum ditambah lagi dengan biaya pendidikan yang meningkat, mana hak mereka untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Sementara kau dengan mudah bicara di media massa dengan dalih bahwa itu semua untuk kepentingan mereka, kau dengan pendidikan dan kepandaian mu yang licik dan picik, kau hadapkan mereka pada permainan sandiwara mu, masa bodoh kata yang terlontar dari mulut mu, yang jelas kepentingan mu harus dapat tercapai, dengan begitu sebenarnya kau tak tahu bahwa kau telah menjajah bangsa mu sendiri”. Begitu kerasnya nyanyian syair-syair kekhawatirannya, sehingga kami yang berada di warung tersebut tak berhenti menatap kearahnya. Sementara itu dari dalam kantor nampak seorang pajabat yang berdiri di depan pintu kantor dengan membawa beberapa pegawai kecamatan untuk mengamankan pemuda tersebut, pejabat yang berdiri tersebut tidak lain adalah pak camat itu sendiri. Tri yang berhadapan dengan beberapa orang pegawai kecamatan yang membawa pemukul dan pentungan, tidak membuat nyali tri ciut. Ia masih saja meneriakan syair kekhawatiran dari penduduk kampung Telagadadi walaupun pegawai kecamatan tersebut memperlakukannya seperti penjahat yang harus dibumihanguskan dari muka bumi ini. Malam tingalah malam dan syair-syair Tri telah tenggelam bersama dinginnya malam sebab penindasan tak akan pernah berhenti dan akan selalu bersinar bersama matahari serta penindas-penindas akan terus menelurkan generasi-generasinya yang tak kalah hebatnya dari pendahulu-pendahulunya. Tri putro bersama teriakkan syair-syair kekhawatiran apakah dapat bertahan dalam kokohnya penindasan dan penjajahan dimasa yang akan datang.
By.Wong Alit

Artikel Terkait

4 komentar:

namaku wendy mengatakan...

gak suka deh sama yg namanya penindas atupun penindasan, yg suka gituan wen kutuk tar jadi gendut hehehe tp baik hati;p *lagi ngawur ini*

The Diary mengatakan...

penindasan sangat kejam gak bisa bebas merdeka...

uNieQ mengatakan...

bintang itu terus mengikutimu sampe memancarkan rasa bersalah pada wajahmu... *apa siyh*

Anonim mengatakan...

sangat menarik, terima kasih

Sponsor

Daftar di PayPal, lalu mulai terima pembayaran menggunakan kartu kredit secara instan.

IKLAN BLOGGER